Yohanes Bandung Bondowoso



Inclusive Content Sharing

- #blog #privacy

In this quick post, I talk about how complicated this world is, more with the internet. The main premise is about thinking twice before sharing a link or image. But in the end, you cannot (or it is hard to) please everyone.

Read More »



8/10/18 Tidur

- #indonesian #blog

memang tidur itu perlu.

ada teman yang paling khawatir akan jam tidurku.

di samping temanku kebanyakan yang berharapku terjaga bersama untuk bergaul,

atau komputer dan buku yang selalu berharap aku menemani mereka belajar atau bekerja.

sampai saat itu, satu jam lalu

pulang dari kantor, kupaksakan berkendara.

hari ini memang belum kurasakan bantal kasur, apalagi meja kantor di pipiku.

perjalanan pulang penuh teriakan nyanyian berbagai upaya agar tetap terjaga.

dua simpang jalan lagi, satu kilometer lagi sampai rumahku.

namun kesadaranku terputus di atas jok motor.

setang tanpa sadar doyong ke timur, kecepatan enampuluh.

saat terjaga terkejut, aku sudah di tepi kanan jalan, roda motor masih berputar kencang.

kukendalikan kemudi agar lurus jalannya.

tepat ketika truk enam roda meraung melewati sisi kiriku, kencang.

sepanjang tiga puluh delapan kilometer aku aman, namun saat sampai area rumah, seperti diberi ilham.

tidurlah yang cukup.

jangan sampai tulang remuk karena kau abaikan tidur.

maka sampai rumah, cuci muka sikat gigi.

masuk ke kamar orang tua, menyelinap di kasur mereka di antara sepasang yang merawatku paling tulus.

aku tidur di antara orang yang paling menyayangiku.

bukan karena mumpung masih ada kesempatan.

tapi karena akupun sayang mereka.

terima kasih.

semesta, Tuhan, kesadaranku,

aku hidup.


Manusia

- #indonesian #blog

Human in Heptapods, from movie Arrival (2016)
Human in Heptapods, from movie Arrival (2016)  

Coklat, Kuning, Merah, Putih, tetap Homo Sapiens. Beda ukuran hidung, mata ataupun penis, tetap satu spesies, lalu menyesuaikan dengan habitat dan kerasnya hidup. Cara berpikir dan harta hanya konsep. Tempat sekolah, berpolitik dan rohani berteguh harusnya tidak menciptakan spesies baru.
Heptapod aja bersedia membantu dan minta bantuan manusia. Masa lu pecah?


Ya


kan?


Bukan Laporan Penelitian Ilmiah

- #indonesian #blog

“Gua ngantuk nih,” lalu teman gua beranjak ke dapur membuat kopi tepung[baca: kopi kopian kemasan tinggal sobek yang lebih banyak kadar gula dan krimer daripada ekstrak kopinya]. Dia selesai membuat kopi itu dan kembali duduk. Menyeruputnya sedikit.

title=
 

“Terus lo berasa ga ngantuk abis nyeruput itu?” “Iya, nih gua jadi seger,” oke. Kopi —bahkan kopi kemasan yang kadang tidak mengandung kopi sama sekali— memang sudah dikaitkan dengan penangkal kantuk oleh lebih banyak orang. Tapi, menurut gua, bukan kopi yang membuat lo jadi seger saat merasa ngantuk.

Bergerak. Itu yang membuat lu jadi tidak mengantuk lagi. Ketika lu duduk, atau tengkurap sambil mengerjakan tugas dan sudah terlalu lama mengerjakannya, lu bakal suntuk, dan berlanjut jadi kantuk. Lalu lu membuat kopi, dengan tujuan mengusir kantuk dengan kopi. Tapi sadarkah elu? Bahwa sebelum itu kopi elu seruput, bahkan sebelum elu selesai membuat kopi, badan lu sudah merasa segar?

Yoi, bukan kafein yang bikin ngantuk lu hilang, tapi proses lu bangkit, berjalan ke dapur, dan membuat kopi yang membuat ngantuk lu hilang.

Hal ini bisa diterapkan jika di ruang kelas lu mengantuk, gak mungkin kan, lu bikin kopi di kantin lalu dibawa ke kelas? Solusinya mudah, izin aja ke kamar mandi. Tidak usah cuci muka, berjalan saja ke kamar mandi, mungkin ditambah peregangan —stretching— singkat. Lalu lu akan jadi segar, dan siap ke kelas lagi untuk belajar. Atau bisa lebih mudah cabut pelajaran. HAHA.

eniwei, bagi lu yang bersikeras bahwa kopi adalah faktor yang membuat kita tidak mengantuk, dan merasa kafein bermanfaat sebagai power shot bila pekerjaan rumah(baik itu Quest in-Game, Proyek, Chat dengan pacar, atau merakit Gundam) banyak tetapi mengantuk, well gua mengucapkan selamat. Karena lu beruntung, bisa mendapatkan talenta sebagai pemroses kafein yang baik dan benar.

Baiklah, kapan kapan kita akan berbicara soal kenikmatan meminum kopi.
But now, I must go. For my people need me.


Innocent Souls

- #indonesian #blog

Beda bahasa, beda pulau, beda tanah air.

Kunjungan ke Bali kemarin bertepatan dengan kejadian yang membuat gua sempat bertemu dengan saudara yang terpisah jauh dari Australia. Mereka adalah dua anak-anak yang sempat menjalani ujian Sparta. Tangguh.

Setelah lama nggak ngobrol dengan anak-anak yang masih polos, mereka serasa tombol refresh. Apalagi mereka adalah pribadi yang menyenangkan, dan seperti partner berlatih bahasa Inggris(menggunakan logat mereka sendiri, HAHA).

Entahlah, gua ngerasa kehidupan mereka adalah perjuangan yang menyenangkan, dan sampai perjumpaan berikutnya, mereka masih tetap berjuang. I wish you good luck buds! May the force be with you!


See ya sooner!


Retak, Seperti Porselen

- #indonesian #blog

Lagu dan film bisa jadi sumber kita untuk menyalurkan rasa, untuk pelampiasan, untuk motivasi, untuk mawas diri.

Judulnya, 500 Days of Summer, genre filmnya (bukan)cerita percintaan, inti yang gua tangkap adalah si Sutradara membuat film ini bagi orang kaya gua, yang terperangkap pada satu insan, hanya karena beberapa momen indah yang dirasakan.

Mimpi-mimpi indah yang gua rasakan bareng kamu cuma membunuh secara perlahan. Baiiiiiklaaah, gua tangkap maksud lo. Oke. Nih, gua ucapkan selamat tinggal. Saatnya mulai keluar. Mari kita tersesat.

Mungkin lagu Porcelain dari Moby bisa menjadi media gua menyalurkan rasa ini.


In my dreams I’m dying all the time …

So this is goodbye, this is Good Bye …

Tell the truth, you never wanted me

Tell me

In my dreams I’m jealous all the time

As I wake I’m going out of my mind.


Going out of my mind.


Ditulis Saat Gua Bosan

- #indonesian #blog

Apakah kalian pernah merasakan kompor tidak seasik nesting?
Bata merah lebih bersih daripada sikat dan pasta gigi?
Menyerut dan mengolah sagu lebih memuaskan daripada masak nasi?
Melayang lebih unik daripada tidur?

Gua merasakan hal itu. Gua merasa bosan.

Koor Paroki Ratu Rosari
Koor Paroki Ratu Rosari  

Belum 12 jam yang lalu gua merasakan titik puncak pencapaian minggu ini. Hasil latihan musik selama hanya 2 minggu, ditampilkan dengan baik, lancar. Nikmat dirasakan para umat, wajah kami merah berseri, semua orang senang. Lalu pulang, makan, chatting, tidur, bangun, nongkrong, kosong. Bahkan pembukaan post ini hambar.


Gua pernah menyimpulkan, cara orangtua merawat anak—untuk mencapai anak yang dianggap sukses— adalah grafik lurus dalam bidang biaya dan usaha.
(a)Tinggi di awal, rendah di akhir.

(b)Lurus datar.

(c)Rendah di awal, tinggi di akhir.

(a) Orangtua yang memberi modal besar, atau talenta besar kepada anaknya sejak kecil, akan dengan mudah membimbing—atau membiarkan— si anak yang mulai dewasa untuk mencapai hidup sukses. Modal, entah itu susu berkualitas bagus, sekolah mutu tinggi, pendidikan moral-etika dalam rumah, stimulus pemikiran yang baik(dalam ideologi pilihan orang tua, ideologi si anak mungkin berubah), atau bisa dimulai sebelum anak itu lahir, dengan memilih pasangan dengan paras indah dan otak encer.

(b) Orangtua yang terus menerus memanjakan anaknya, akan terus mengeluarkan biaya besar sepanjang gendong ayunan si anak di pundak orangtua, dalam kasus ini, kemungkinan gendong itu bertahan seumur hidup. Grafik lurus, bukan berarti usaha yang dikeluarkan adalah tengah-tengah dari (a) dan (c), tapi bergantung dari modal awal (b). Orangtua yang memanjakan anaknya mengeluarkan modal awal besar? Pengeluaran dengan jumlah sama akan berlanjut.

(c) Orangtua yang pada awal pertumbuhan anak, abai dan tidak segera memberi modal yang baik, lalu si orangtua sadar dan berusaha membuat anaknya mencapai kesuksesan. Usaha yang dikeluarkan akan sangat besar, berkali lipat dari usaha awal orangtua.

Hasil akhir, mungkin usaha berhasil dan anak menjadi sukses, tentu dengan karakter yang berbeda-beda. Yang satu mandiri, yang lain manja, pemberontak. Aktif, pasif, introvert, ekstrovert, atletis, obesitas, atau hasil produk akhir yang berbeda-beda.

Menurut gua, cara (a) adalah yang terbaik, bisa kamu lihat, grafik rendah di akhir bukanlah tanda kemalasan orangtua, tetapi berkurangnya usaha yang diperlukan orangtua untuk mengurus anak. Anak mengurus dirinya sendiri.

Tentu saja anak yang merasa bosan dengan modal yang dicurahkan orangtuanya bisa jadi keluar dari gaya hidup tersebut, dan membuat hidupnya sendiri dan jalannya menuju sukses. Ada juga anak berbakat, yang dengan mudah menuju kesuksesan bagaimanapun cara orangtua mendidiknya. Hal yang lupa gua tambahkan, tolak ukur sukses akan berbeda bagi orang-orang, tapi secara general, sukses adalah hidup bahagia.


Beberapa teman gua terus menanyakan gaya hidup yang gua lakukan, berusaha mencari faktor-x gua bisa menjadi (menurut mereka) tinggi, cepat tanggap, ataupun aktif, atau hal lain yang tidak mereka miliki tapi gua miliki. Merespon hal tersebut, gua menceritakan gaya hidup gua yang biasa saja, sambil berpikir, padahal ada hal yang tidak gua miliki tapi mereka miliki.

Untuk masalah postur tubuh, gua tau genetik berperan besar dalam tinggi, berat badan atau massa otot yang gua miliki. Untuk kemampuan otak dan skill, gua yakin hal tersebut didapat dari hasil gua menekuni hobi. Hobi gua, membaca, mengulik lagu, menggambar, lari, seni. Beberapa hobi gua tekuni dengan sangat, sehingga skill gua dapat dengan cara menyenangkan, sedangkan imitator gua, dengan suntuk dan lelahnya, menjalani kegiatan untuk meraih hal yang gua miliki.

Gua sendiri, dengan suntuknya, menjalani kegiatan olahraga beregu, atau berkomunikasi dengan baik. Karena hal tersebut bukan gairah gua, tapi gua sadar hal tersebut harus dilakukan karena pencapaiannya akan berguna bagi kelangsungan hidup gua. Terutama berbicara dengan baik.


Gua mengenal band efek rumah kaca sejak lama, mungkin 2008, masa awal gua menjelajah saluran radio FM. Dimulai dengan “Jatuh Cinta itu Biasa Saja” “Debu-debu Berterbangan” dan “Kenakalan Remaja di Era Informatika”.

Sekarang, Sinestesia menjadi suara latar dalam pembuatan post ini. Biar bagaimanapun, “Putih” tetap menjadi lagu favorit dalam album tersebut. Mungkin karena lagu ini merupakan single yang pertama gua dengar dari calon album Sinestesia. Mungkin karena tema kematian yang menjadi intro lagu, dan digarap dengan apik, gelap, mistis.

Tema kematian dalam seni memiliki tempat sendiri dalam hal keseleraan gua. Dalam lagu yang sebelumnya dibahas—“Putih”, video klip lagu “November Rain”, film “Bridge to Terabithia” dan “Lion King”. Tema tersebut gua tafsir sebagai permulaan dalam menjalani hidup. Hal itu tidak berhubungan dengan budaya reinkarnasi, atau takut dalam menghadapi kematian. Tema kematian menjadi pendorong agar gua bisa melampaui keterbatasan yang gua miliki saat itu. Keterbatasan dalam hal kepunyaan, contohnya skill, cara pikir, harta, apapun. Menjadi semacam penyemangat. Orang lain mengartikan hal tersebut sebagai “lakukanlah sebaik mungkin selagi kematian menjelang”.


Sinestesia sudah tak lagi didendangkan dvd player, dan gua rasa kebosanan gua mulai berkurang sedikit. Saat ini hari Kamis, 5 Mei 2016 jam 23:28, dan gua sedang tidak dalam mood untuk nongkrong, nonton, maupun makan. Gua harus mencari kesibukan yang berguna, karena hari Jumat menjelang.

Dengan sangat, gua berharap kalian tidak merasa bosan.
Sampai Jumpa. До Свидания.


Bangkit

- #indonesian #blog

Hola!
Lama tak jumpa!
Apa kabar kalian?
Baik baik saja kan?

Lebih dari satu bulan lewat sudah sejak gua dan teman-teman kantor berpisah. Gua yang baru terbiasa dengan budaya ngantor pulang pergi mengikuti arus.

Sebenernya gua ketik kata ‘Hola!’ di atas tanpa tahu topik apa yang akan dibahas di post ini, tapi setelah paragraf kedua, gua dapet ide. Kenapa kita–entah hanya orang Indonesia atau non Indonesia juga demikian– terbiasa mengatakan kebalikan daripada praktiknya?
Gak paham maksud gua? Coba lihat ini, pulang-pergi. Nangkep maksudnya?

Kita mengatakan pulang pergi, selagi nyatanya kita melakukan pergi, diikuti kegiatan pulang. Tidak akan ada kegiatan pulang tanpa adanya kepergian. Juga, gua pikir, kata pulang tidak akan tercipta tanpa ada orang yang berani mengangkat pantat malasnya meninggalkan zona nyaman bernama sofa, di sebelah perapian rumahnya menuju semesta tak terjelajah di luar gerbang desa.

Hal tersebut(pengucapan terbalik) juga benar adanya dengan kurang-lebih, dan datang-tak-dijemput-pulang-tak-diantar. Tanda kurang lebih adalah tanda plus di atas tanda minus, tapi orang mengucapkannya tidak sesuai hirarki, mereka ucapkan dari bawah ke atas. Hal ini bisa jadi tanda pemberontakan kaum bawah terhadap atasannya. Contoh terakhir malah lebih aneh, karena orang yang datang berkunjung, adalah diantar dari rumahnya, dan pulang menunggu jemputan. Jika gua telaah, hal ini mungkin berhubungan dengan kebiasaan manusia yang mengatakan tidak sesuai kenyataan, pembohong. Mungkin hal ini sepele, tapi seperti kata ibu, kebiasaan buruk di rumah akan terbawa ke luar, maka sikap jelek kita akan terbawa dalam ucapan.

Dewasa ini, banyak orang yang mulai mengoreksi ucapan mereka dan mengatakan lebih-kurang atau pergi-pulang. Gua pikir ini adalah tanda kesadaran orang akan kesalahan dan sikap buruk mereka selama ini. Tapi, apakah tindakan mengoreksi ucapan ini adalah hal positif, yaitu orang sadar akan kesalahannya dan diperbaiki, atau negatif, orang yang sadar menutupi kesalahan mereka selagi tetap berhati korup? Apakah ini tanda bahwa orang semakin canggih dalam memutarbalikkan fakta dan menutup-tutupinya, bermain aman selagi uang kotor tetap mengalir ke rekening? Gua berharap yang terbaik.

Hal yang tetap aneh, adalah tidak ada yang mengoreksi menjadi datang-tak-diantar-pulang-tak-dijemput. Frase tersebut berhubungan dengan hal mistis, yakni permainan Jelangkung. Gua pikir, hal tersebut adalah tanda bahwa orang tidak bisa lepas dari takhayul, dan bermain aman dengan tidak mengusik hal mistis yang sudah menjadi kebiasaan. Bahkan para pemberontak dan para pembohong takut mengusik mantra jelangkung. Bahkan penjahat takut hantu.

Penutup, gua himbau kalian tetap hidup baik, dan apa adanya.
Karena bersikap jahat merugikan kita.
Semoga kalian paham.
Salam.